Seminggu yang lalu, istri menceritakan seorang temannya yang tiba2
berkunjung ke rumah dengan membawa anak usia 2 tahun berpakaian sangat tipis
dalam derasnya hujan. Tidak ada lagi tatapan mata tajam dan sikap percaya diri
setelah ditinggal suami dengan 4 orang anak dan tanpa penghasilan. Saya tiba2
di amuk rasa sedih karena 8 tahun lalu saya pernah mengalami hal yang hampir
sama.
Keadaan ini bagaikan langit dengan bumi dengan teman akrab saya yang punya penghasilan milyaran rupian tiap tahun. Setiap kali dia ke kota besar, dia menghabiskan seratusan juta hanya untuk senang-senang. Baginya itu wajar bersenang senang karena telah bekerja keras sebelumnya. Toh tidak ada yang salah dengan dirinya karena tiap idul fitri dia membayar zakat fitrah sesuai fiqih plus zakat hartanya. Dia juga berqurban 1-2 ekor sapi tiap idul adha. Dia juga sesekali bersedekah meski tidak sebanyak biaya senang senangnya. Menurut dia, tanggung jawab sosialnya telah terpenuhi.
Keadaan ini bagaikan langit dengan bumi dengan teman akrab saya yang punya penghasilan milyaran rupian tiap tahun. Setiap kali dia ke kota besar, dia menghabiskan seratusan juta hanya untuk senang-senang. Baginya itu wajar bersenang senang karena telah bekerja keras sebelumnya. Toh tidak ada yang salah dengan dirinya karena tiap idul fitri dia membayar zakat fitrah sesuai fiqih plus zakat hartanya. Dia juga berqurban 1-2 ekor sapi tiap idul adha. Dia juga sesekali bersedekah meski tidak sebanyak biaya senang senangnya. Menurut dia, tanggung jawab sosialnya telah terpenuhi.
Walau ketimpangan hidup adalah sunnatullah, ada yang tidak seharusnya terjadi. Penyebab utamanya karena dalam berfiqih, kita kerap kali mengikuti standar minimal. Puasa kita hanya dalam bulan ramadhan, selain itu kita berkenyang-kenyang ria, bahkan bagi yang berpuasa senin kamis juga itu cuma sekedar ritual. Zakat fitrah kita hanya senilai 2,5 kg beras selama setahun sementara penghasilan kita minimal ribuan kg beras.Padahal dengan 2,5 kg beras, seseorang fakir miskin bisa makan selama 4 hari. Coba bandingkan biaya hidup kita perhari. Pantaskah kita berzakat fitrah dengan 2,5 kg beras?. Qurban kita juga tidak ada bedanya. Karena hanya saat idul adha kita ingat berbagi. Di hari-hari biasa, berapa kali kita ingat orang miskin dan anak yatim saat sepotong daging masuk dalam mulut kita?. Lantas bagaimana dengan sholat kita? Sholat kita ibarat upacara bendera setiap senin di sekolah dulu. tanpa makna. Hanya sekedar seremoni.
Karena ber 'fiqih' minimal, kita sibuk menumpuk harta sebagai cadangan masa depan kita, sebagai bekal saat anggota keluarga kita sakit atau tertimba musibah. Yang penting semua kewajiban telah kita laksanakan. Jika yang miskin tetap miskin, itu adalah karena mereka bodoh, malas dsb. Makanya tidak aneh jika terdapat kurang lebih 28 jt orang miskin di negeri muslim terbesar dunia ini.
Ber'fiqih' minimal dengan harapan surga. Itu namanya bermental 'diskon'. Ingin sesuatu yang 'mahal' dengan harga 'miring'. Semiring otak dan hati kita.
wallahu a'lam....
Karena ber 'fiqih' minimal, kita sibuk menumpuk harta sebagai cadangan masa depan kita, sebagai bekal saat anggota keluarga kita sakit atau tertimba musibah. Yang penting semua kewajiban telah kita laksanakan. Jika yang miskin tetap miskin, itu adalah karena mereka bodoh, malas dsb. Makanya tidak aneh jika terdapat kurang lebih 28 jt orang miskin di negeri muslim terbesar dunia ini.
Ber'fiqih' minimal dengan harapan surga. Itu namanya bermental 'diskon'. Ingin sesuatu yang 'mahal' dengan harga 'miring'. Semiring otak dan hati kita.
wallahu a'lam....
0 komentar:
Posting Komentar